Tuesday, February 7, 2017

MANFAAT ICD X DAN TATALAKSANA DALAM KESEHATAN HAJI


Manfaat dan Tatalaksana ICD X dalam kesehatan Haji[1]




PENDAHULUAN

Nomenklatur merupakan sistem yang digunakan untuk istilah medis yang menggambarkan penyakit, symptom, dan prosedur. Nomenklatur juga dikenal sebagai terminologi klinis. Penggunaan nomenklatur harus kompatibel dengan sistem klasifikasi yang merupakan sistem yang dapat mengelompokkan penyakit-penyakit dan prosedur-prosedur yang sama dan diakui secara internasional. Klasifikasi Internasional Penyakit, Revisi Kesepuluh atau ICD 10 merupakan klasifikasi penyakit yang digunakan pada saat ini. Sistem ini akan memudahkan pengaturan, penyimpanan, pengambilan, dan analisis data kesehatan. Terlebih lagi, untuk pengembangan dan penerapan pencatatan pasien  yang terkomputerisasi.

Kebijakan dan prosedur sangat dibutuhkan untuk mengawasi proses koding. Penggunaan perbendaharaan klinis oleh para klinisi bertujuan untuk mengumpulkan, mengolah, dan mengambil data untuk tujuan administrasi (statistik, pembayaran, peralatan, dll), dan klinis (mengembangkan pelayanan medik).

SEJARAH
Sistem Klasifikasi yang digunakan pada saat ini adalah ICD-10, ICD pada mulanya dibuat untuk klasifikasi penyebab kematian. Pada abad 17 John Graunt mengembangkan studi yang disebut “London Bill of Mortality”. Pada  ICD revisi VI tahun 1946 digunakan juga untuk klasifikasi morbiditas. Dengan publikasi baru berjudul “International Classification of Diseases,Injuries and Cause of Death”.
 Pada mulanya, ICD direvisi dengan interval 10 tahun, hal ini dianggap terlalu singkat dalam penerapannya. Oleh karena itu, di dalam ICD-10 telah disiapkan kemungkinan untuk penambahan kode penyakit baru sehingga revisi dalam waktu singkat dapat dihindari. Setiap bab dimulai dengan abjad, dari 26 huruf yang tesedia, 25 sudah digunakan, huruf u disiapkan untuk penambahan sebelum revisi dilakukan.

Tujuan dan Kegunaan ICD
1)   Klasifikasi morbiditas dan mortalitas untuk tujuan statistik
2)   Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di sarana pelayanan kesehatan
3)   Pelaporan diagnosis tenaga medis
4)   Memudahkan penyimpanan dan pengambilan data
5)   Sebagai dasar pengelompokan DRGs untuk pembayaran
6)   Pelaporan nasional morbiditas dan mortalitas
7)   Tabulasi data pelayanan kesehatan untuk evaluasi perencanaan pelayanan medik
8)   Menemukan bentuk pelayanan
9)   Analisis pembayaran pelayanan kesehatan
10)   Untuk penelitian epidemiologi dan klinis

STRUKTUR ICD-10


ICD-10 terdiri atas 3 volume, volume 1 berisi klasifikasi utama disebut dengan Tabular lis, volume 2 petunjuk penggunaan, sedangkan volume 3 indeks alfabet. Volume 1 terdiri atas 21 bab yang disusun menurut sistem anatomi (body system) dan grup khusus. Pengkodean menggunakan alfa numerik A00-Z99 kecuali U belum digunakan yang dipersiapkan untuk kode diagnosis baru. Masing-masing bab dimulai dengan huruf, empat belas bab menggunakan satu huruf, tiga bab bergabung dengan bab lain, dan bab yang lain lebih dari satu huruf  (lihat lebih lanjut pada table 1).
Setiap bab dibagi menurut blok, setiap blok terdiri atas tiga karakter dan setiap kategori tiga karakter dapat dirinci mejadi kategori empat karakter atau lebih sesuai dengan rincian setiap tiga karakter tersebut (lihat    gambar 1).

Gambar 1. Struktur ICD - 10

 

Tabel 1. Rincian Bab ICD-10

 
 














Bab
ICD
Kode Awal
Farr"s
I
Penyakit parasistik dan infeksi tertentu
A,B
Epi
II
Neoplasma
C,D
Gen
III
Penyakit darah dan organ pembentuk darah
D
Gen
IV
Penyakit endokri nutrisi dan metabolic
E
Gen
V
Gangguan mental dan perilaku
F
Gen
VI
Penyakit sistem syaraf
G
BS
VII
Penyakit mata dan organ mata
H
BS
VIII
Penyakit telinga dan prosessus mastoideus
H
BS
IX
Penyakit sistem sirkulasi
I
BS
X
Penyakit sistem nafas
J
BS
XI
Penyakit sistem cerna
K
BS
XII
Penyakit kulit dan jaringan subkutan
L
BS
XIII
Penyakit sistem muskulokeletal dan jaringan penunjang
M
BS
XIV
Penyakit sistem kemih
N
BS
XV
Kehamilan, kelahiran, dan masa nifas
O
Gen
XVI
Kondisi tertentu yang bermula dari masa perinatal
P
Divl
XVII
Kelaianan kongenital, deformitas, dan kelainan kromosom
Q
Divl
XVIII
Tanda, gejala, dan hasil pemeriksaan klinik & laboratorium yang tidak normal
R
Gen
XIX
Cedera dan keracunan
S, T


CADANGAN
u

XX
Seluar kesakitan dan kematian
V, W, X, Y
Gen
XXI
Faktor yang mempengaruhi keadaan kesehatan dan kontak dengan pelayanan kesehatan
Z
Gen


PENGGUNAAN ICD-10

Dalam menggunakan ICD-10 perlu diketahui bagaimana menggunakan ICD, dan peraturan morbiditas serta petunjuk dan peraturan kode mortalitas, yaitu:
I.             Peraturan Umum sistem Dagger dan Asterisk, serta delapan langkah dasar pedoman sederhana dalam menentukan kode.
II.           Peraturan Morbiditas
III.         Peraturan Kode Mortalitas


KETERANGAN UNTUK PERATURAN MORBIDITAS

Untuk pengkodean morbiditas sangat bergantung pada diagnosa yang ditetapkan oleh dokter yang merawat pasien atau yang bertanggung jawab menetapkan kondisi utama pasien yang kemudian diklasifikasi dalam kode penyakit. Hal yang dapat dijadikan tanda adalah gejala tanda, alasan kontak dengan pelayanan kesehatan, kondisi multiple.
Hal yang perlu dicatat untuk pengkodean yang spesifik yaitu penyakit dengan squelae, akut dan kronis, neoplasma, cedera dan penyebab eksternal. Seperti contoh di bawah ini:
1.   Carsinoma lobutan lower outer quadrant of the left brust C 50.5, M8520/3
2.   Cerebral contusion due to fall from bed into floor S06.20 W06.04
3.   Tuberculosis meningitis (dengan dagger dan asterisk) A17.0, G01*

Pada keadaan dokter yang merawat atau bertanggung jawab bila tidak dapat menunjukkan atau menetapkan keadaan utama pasien atau tidak memungkinkan untuk mendapatkan penjelasan, maka penetapan kondisi utama melalui ketentuan/aturan (rules) yang dapat menjamin bahwa kondisi utama yang dipilih dan dikode menggambarkan kondisi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam satu episode pelayanan. Koder harus terbiasa dengan ketentuan ini dan mampu menggunakannya yaitu ketentuan (rules) MB1-MB5.

KETERANGAN UNTUK PERATURAN KODE MORTALITAS


1. Ketentuan Umum
Sertifikat kematian adalah sumber utama data mortalitas, informasi kematian biasa di dapat dari praktisi kesehatan atau pada kasus kematian karena kecelakaan, kekerasan, dan penyakit jantung. Orang yang mengisi sertifikat kematian akan memasukkan urutan kejadian yang meyebabkan kematian pada sertifikat kematian sesuai dengan format internasional .
Konsep sebab kematian hanya memberi satu sebab kematian yang memudahkan untuk pengisian sertifikat walaupun tercatat dua atau lebih kondisi morbiditas yang menyebabkan kematian. Sebab yang mendasari kematian merupakan pusat dari kode mortalitas.
WHO mendefinisikan sebab kematian adalah semua penyakit, keadaan sakit atau cedera yang menyebabkan atau berperan terhadap terjadinya kematian. Oleh karenannya sebab yang mendasari kematian adalah keluhan atau kejadian atau keadaan yang jika tidak karena hal tersebut pasien tidak akan mati.

2. Memilih sebab kematian


WHO telah menetapkan prosedur yang harus diikuti untuk mengkode sebab yang mendasari kematian dengan urutan langkah-langkah logis sebagai berikut:
1 Prinsip umum
Apabila lebih dari satu penyakit atau keluhan ditulis pada sertifikat, Maka penyakit atau keadaan tunggal  yang dicantumkan pada baris terakhir, hanya jika penyakit /keluhan tersebut menyebabkan terjadinya seluruh penyakit (keluhan yang tercantum diatasnya)
Contoh: (a) Abcess of lung
   (b) Lobar pneumonia
Pilih Lobar pneumonia (J18.1) sebagai penyebab mendasar sebab abses paru .

2 Aturan modifikasi
Dalam beberapa kasus sebab yang mendasari kematian yang telah dipilih dengan menggunakan aturan diatas tidak terpakai, dalam hal ini ditetapkan cara modifikasi sesudah penggunaan prinsip umum atau aturan 1-3 tidak biasa dipakai maka digunakan aturan modifikasi A-F.


Keterkaitan ICD 10 dengan klasifikasi lainnya

WHO pada tahun 2004 mengembangkan Family Classification ICD-10 setelah disadari bahwa informasi pada ICD 10 tidak cukup untuk dihubungkan dengan gangguan kesehatan. (lihat lebih lanjut Gambar 2)
 


















WHO dalam menerbitkan buku Family of International Classification (WHO-FIC) mempunyai tujuan agar dapat digunakan mencapai visi yang terintegrasi untuk membandingkan informasi kesehatan secara internasional. Klasifikasi tersebut terbagi atas tiga kelompok:
         1. Klasifikasi Rujukan yang terdiri atas:
International Classification of Diseases
International Classification of Functioning, Disability in Health (ICF)
International Classification of Health Intervention (ICHI)


2. Klasifikasi spesifik yang terdiri atas:
International Classification of Diseases for Oncology, Third Edition (ICD-O-3)
The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders
Application of the International Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology, Third Edition (ICD-DA)
Application of the International Classification of Diseases to Neurology (ICD-10-NA)
3. Klasifikasi yang berhubungan
International Classification of Primary Care (ICPC)
International Classification of External Causes of Injury (ICECI)
The Anatomical, Therapeutic Chemical (ATC) classification system with Defined Daily Doses (DDDs)
ISO 9999 Technical aids for persons with disabilities-Classification and Terminology

Sementara itu ada klasifikasi yang tidak masuk pada klasifikasi diatas, seperti Sistem Klasifikasi pembedahan yang merupakan kumpulan dari tindakan – Pembedahan yang digunakan, pada saat ini masih menggunakan klasifikasi  yang ditetapkan oleh WHO (ICOPIM) tahun 1978 dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tahun 1997. Klasifikasi pada ICOPIM mencakup klasifikasi pembedahan, laboratorium, radiologi, tindakan bedah, pengobatan, dan berbagai prosedur lain. Pada saat ini sedang dikembangkan klasifikasi pembedahan – tindakan yang baru yang disebut dengan International Classification of Health Intervention (ICHI), klasifikasi ini dikembangkan untuk negara yang telah menerapkan ICD-10. 


HAL-HAL PENTING DALAM KODING
1. Standar dan etik
Standar dan etik koding sudah dikembangkan oleh AHIMA, terdapat beberapa standar yang harus dipenuhi oleh seorang koder professional, antara lain:
  1. Akurat, komplit dan konsisten untuk menghasilkan data yang berkualitas
  2. Koding harus mengacu pada ICD-CM
  3. Koding harus mengikuti sistem klasifikasi yang sedang berlaku dengan memilih koding diagnosis dan tindakan yang tepat
  4. Koding harus ditandai dengan laporan kode yang jelas dan konsisten pada dokumentasi dokter dalam record pasien
  5. Koding professional harus berkonsultasi dengan dokter untuk klarifikasi dan kelengkapan pengisian
  6. Koding professional tidak mengganti kode pada bill pembayaran
  7. Koding professional harus sebagai anggota dari tim kesehatan, harus membantu dan mensosialisasikan kepada dokter dan tenaga kesehatan lain
  8. Harus mengembangkan kebijakan koding di institusinya
  9. CP harus secara rutin meningkatkan kemampuannya mengenai koding
  10. Koding professional berusaha untuk memberi kode yang paling sesuai untuk pembayaran

2.   Elemen kualitas koding
Audit harus dilakukan untuk mereview kode yang telah dipilih oleh petugas. Koding proses harus dimonitor untuk beberapa elemen sebagai berikut:
1.  Reliability (Konsisten bila dikode petugas berbeda kode tetap sama)
2.  Validity (Kode tepat sesuai diagnosis dan tindakan)
3.   Completeness (mencakup semua diagnosis dan tindakan yang ada di rekam medis)
    4. Timeliness (tepat waktu)

3.   Kebijakan dan prosedur koding
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat kebijakan dan prosedur koding sesuai dengan tenaga dan fasilitas yang dimilikinya. Kebijakan dan prosedur tersebut sehingga merupakan pedoman bagi tenaga koding agar dapat melaksanakan koding dengan konsisten. Kebijakan ditetapkan oleh organisasi seperti organisasi rumah sakit (ARSADA), IDI, Persatuan Manajemen Informasi Kesehatan (PORMIKI) dan organisasi lainnya.

KAITAN ICD DAN DIAGNOSTIC RELATED GROUPS (DRG’S)

Perkembangan haji kedepan adalah mengembangkan manfaat lain yang dapat dirasa, seperti ketika perkembangan pembayaran dilakukan dengan didasari pada diagnosa penyakit. Besaran biaya ini sangat ditentukan oleh diagnosa akhir pada saat pasien keluar rumah sakit yang ditetapkan oleh dokter yang merawat atau bertanggung jawab serta ketepatan koding yang diberikan oleh petugas rekam medis dengan menggunakan ICD-10.
Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan dalam dengan merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada seorang pasien. Akan tetapi rumah sakit hanya menyampaikan diagnosis pasien waktu pulang dan memasukan kode DRG untuk diagnosis tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis tersebut sudah disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak pembayar misalnya badan asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan.
Adapun DRG digunakan atas pengelompokan ICD yang telah dimodifikasi yang disebut dengan ICDCM (International Classification of Diseases Clinical Modification) pengelompokan dilakukan atas dasar klasifikasi anatomi dan fisiologis, adanya tindakan, umur, jenis kelamin pasien.


              Pembayaran dengan cara DRG mempunyai beberapa keutamaan sebagai berikut, sebagian hal tersebut adalah:
·         Memudahkan administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar
·         Memudahkan pasien memahami besaran biaya yang harus dibayarnya
Sementara kelemahannya sebagian adalah penerapannya yang membutuhkan pencatatan rekam medis, yang akurat dan komprehensif. Sistem komputerisasi dan teknologi kumputer kini sangat memudahkan penyelenggaraan sistem ini

 

KESIMPULAN

Pada saat ini koding, klasifikasi dan sistem perbendaharaan klinis telah berkembang dan dirasakan pentingnya terutama bagi pelayanan kesehatan  termasuk pelayanan haji. yang sudah menggunakan untuk sistem pembayaran, penelitian dan lain sebagainya. Tujuan dan penggunaan klasifikasi klinis bervariasi seperti ICD untuk klasifikasi kesakitan dan kematian, ICD-O untuk onkologi, ICF untuk kecacatan dan ketidakmampuan dan lain sebagainya. Setiap organisasi pelayanan kesehatan harus mempunyai kebijakan dan prosedur untuk digunakan untuk mengatur proses koding dan menjamin konsistensi dari hasil koding. Setiap organisasi kesehatan harus menetapkan program audit/monitoring untuk mereview keakuratan koding berdasarkan aturan yang ada.
Dan pengembangan teknologi yang canggih juga perlu didasari pada pedoman yang telah dikembangkan serta pemantauan yang untuk keakuratan pengisian. Teknologi mempunyai dampak pada efisiensi yang besar dalam proses pengkodean, dan bila dikembangkan dengan baik akan mempercepat proses pelayanan jemaah haji bahkan dapat mempertajam sistim skrining haji terhadap risiko tinggi yang belum berjalan dengan baik. Yang tentu saja diharapkan akan memberi kepuasan pelayanan.

DAFTAR PUSTAKA


Depkes RI, 1982, Pedoman Klasifikasi Jenis Pembedahan di Indonesia, Ditjen Yanmed, Jakarta
Depkes RI, 1993, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), Ditjen Yanmed, Jakarta
Depkes RI, 1997, Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia, Ditjen Yanmed, Jakarta
Depkes RI, 1997, Aplikasi Internasional Tentang Penyakit Gigi dan Mulut, Ditjen Yanmed, Jakarta
John Merida 2002, Health Information Management Technology – an applied approach, AHIMA, Chicago
National Center for Classification in Health 1999, ICD-10 Student Workbook – an Interactive training course for ICD-10, 4th ed, NCCH, Brisbane
National Center for Classification in Health 2004, Clinical Coding with ICD-10 and ICHI, NCCH, Brisbane
World Health Organization 1978, International Classification of Procedure in Medicine ICOPIM, WHO, Geneva
World Health Organization 1992, International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD), 10th rev, Vol 1-3, WHO, Geneva
World Health Organization1992, The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders, WHO, Geneva 
World Health Organization 2001, International Classification of Functioning, Disability and Health, WHO, Geneva
World Health Organization 2002, Medical Records Manual – a guide for developing countries, WHO, Geneva


[1] Disajikan pada Penyusunan Draft Pedoman Sistem Informasi Kesehatan Haji, tanggal 1 Juli 2005, Hotel Sri Varita, Jakarta

No comments:

Post a Comment